Oleh : Choirul Anam Djabar
Periode pertama kali kami mengajarkan belajar Alquran di wilayah Kandangan adalah kepada Ust. Sugiono (profil kita kali ini) dan kawan-kawannya. Ternyata hanya dialah yang bertahan sampai saat ini. Teman seangkatannya sudah pada lenyap entah ke mana.
Karena itu, ketika dia melakukan suatu kesalahan, rekan-rekan sesama pengajar di TPA sepakat mengatakan: “Ya, bagaimana pun dia adalah yang terlama dan terbaik”. Inilah kata pamungkas dalam ‘kelakar’ yang menyelamatkan Ust. Sugiono. Dia memang yang terbaik. Kalau tidak terbaik, tentu dia sudah lenyap dari dulu.
Dia mulai belajar dengan metode Iqro’ pada akhir dekade 1990-an. Mulanya hanya dua orang yang belajar, dan dalam perkembangan selanjutnya sampai mencapai 20 lebih. Waktu itu usia yang belajar antara kelas 4 SD sampai SMA dan mahasiswa. Jam belajarnya sehabis salat Isya’ di Masjid Hidayatullah, Kandangan Surabaya. Karena satu dan lain hal, majelis tersebut akhirnya tidak berlanjut.
Kemudian melalui perjalanan yang panjang, dari waktu ke waktu, dari jadwal ke jadwal, akhirnya sekarang menetap pada setiap hari Jumat, Sabtu, dan Ahad sehabis salat Subuh. Dalam perjalanan yang cukup panjang tersebut, Ust. Sugiono dengan setia mengikuti setiap saat hingga saat ini.
Berkat kegigihannya itulah, Mas Gio (demikian dia memakai nama di akun Facebook-nya) tokoh masyarakat setempat mempercainya untuk mengangkat sebagai Modin di wilayah tersebut sejak Februari 2017. “Sebenarnya saya tidak mau menduduki jabatan itu, mengingat usia saya masih relatif muda. Tapi dorongan dari sesepuh dan tokoh masyarakat dan warga RW 01 Kelurahan Kandangan kecamatan Benowo sangat kuat, maka mau tidak mau saya terpaksa harus menerima amanat yang menurut saya sangat berat tapi mulia ini,” kata Mas Gio.
Mas Gio, yang lahir di Kediri, 30 Mei 1977 ini, mulai belajar mengaji sejak usia SD hingga STM di kampung halamannnya. Setelah hijrah ke Surabaya, Mas Gio merasa pembelajaran di kampung halamannya sungguh sangat terbatas.
Meski begitu, dia bersyukur karena dari sanalah dia dapat membaca Alquran dengan lancar, meski belum sepenuhnya sesuai dengan kaidah tajwid. “Bahkan saya sering dapat undangan khataman dan tadarus keliling setiap bulan sekali di kampung kelahiran saya,” papar Mas Gio dengan bangga.
Bapak dari empat orang anak ini secara rinci menceritakan, ketika belajar metode Iqro’, tidak mau berpindah ke pelajaran selanjutnya, sebelum satu pelajaran itu mantap betul. Saat belajar Alquran di tanah kelahirannya itu, Mas Gio memperdalam bacaan Alquran dari beberapa guru. Tidak kurang dari enam dia berguru. “Malahan ketika duduk di bangku SMP, saya sudah diamanahi untuk membantu mengajar ngaji,” papar Mas Gio.
Ust. Sugiono juga berkisah, setelah pindah ke Surabaya, tahun 1996, tepatnya bulan Agustus, dia menetap di masjid Hidayatullah, Kandangan Surabaya. Katanya, ada tugas tirakat dari gurunya. Dia mengaku banyak peristiwa yang terjadi di tempat itu. “Sampai-sampai saya tidak enak makan dan tidur,” tutur Mas Gio tanpa memaparkan peristiwa apa saja yang sebenarnya terjadi di Masjid yang kini jadi pusat pembelajaran Jam’iyah Tilawatil Quran Provinsi Jatim itu.
Setelah selesai melaksanakan tirakat di masjid tersebut, Mas Gio berencana kembali ke kampung halamannya, yakni di Dusun Gogor, Desa Sumberejo, Kediri. Namun ternyata ada tugas baru, yakni mengajar di TPA Musalla, Al Barokah, RT 06 Kandanganrejo, Kelurahan Kandangan Surabaya.
Kegiatan tersebut berjalan beberapa tahun. Namun karena satu dan lain hal, kegiatan tersebut berhenti, dan Mas Gio kembali ke Masjid Hidayatullah, Kandangan Surabaya. Di tempat inilah, kemudian dia merintis Taman Pendidikan Alquran (TPA). “Alhamdulillah, TPA ini berlanjut hingga saat ini. Santri yang asalnya hanya satu dua, kini sudah ratusan jumlahnya. Demikian pula jumlah gurunya, kini sudah mencapai lima sampai 10 orang,” papar Ust. Sugiono.
Masih ada satu hal yang tak terlupakan di benak Ust. Sugiono, yakni saat hijrah ke Surabaya, dia sudah merasa cukup ilmu baca Alqurannya. Apalagi dia sudah dapat undangan khataman ke mana-mana, dan dipercaya juga untuk mengajar.
Namun setelah belajar kembali di Masjid Hidayatullah, ternyata masih banyak kesalahan yang perlu dibenahi. Karena itu, dia semakin semangat untuk belajar. Dari sini pula dia mulai mengenal ilmu tajwid dan sekaligus cara mempraktikkannya.
Ketika di masjid tersebut merencanakan membuka kursus baca Alquran untuk kalangan dewasa, Ust. Sugiono pun termasuk salah satu yang ditunjuk untuk menjadi calon pengajarnya. Konsekuensinya, dia wajib mengikuti pembinaan non stop setiap hari sebanyak tiga jam berturut-turut.
Diakui Mas Gio, dari situlah awal bangkitnya TPA Masjid Hidayatullah. TPA kelas anak-anak yang semula hanya beberapa gelintir murid, sekarang sudah ratusan santri. Dan ngaji dewasa pun hingga sekarang masih berlangsung.
Dari situlah, kemudian dalam perjalanannya, akhirnya Mas Gio dan kawan-kawan seperjuangan di TPA Hidayatullah digiring untuk bersama-sama mempelajari atau mengikuti Program Murattal Tujuh Lagu (PMTL) yang berkembang hingga sekarang. “Alhamdulillah, saya dan teman-teman sesame pengajar di TPA Hidayatullah, semuanya sudah lulus program tersebut,” jelas Mas Gio alias Ust Sugiono.
Mengenai kesan-kesannya mengikuti PMTL, dia sangat senang bisa menguasai tujuh lagu murattal tersebut, karena mengaji jadi tidak monoton. Bisa bervariasi dengan berlagu. “Ini benar-benar ilmu yang bermanfaat bagi saya. Dan ilmu tersebut sekarang saya tularkan kepada murid-murid atau anak didik saya. Mereka pun sangat bangga bisa mengenal murattal tujuh lagu,” kata dia.
Di samping itu, Ust. Sugiono juga menjelaskan, dirinya terus mengembangkan PMTL, dengan mengajarkan, dan setiap kali dalam membaca Alquran, selalu dilagukan dengan variasi tujuh lagu. “Selain itu, ketujuh lagu tersebut, saya terapkan juga ketika saya mengimami salat di mana pun,” kata Ust. Sugiono, yang juga imam rawatib Masjid Hidayatullah, Kandangan, Surabaya itu.**