Oleh : Choirul Anam Djabar
Siti Fathonah, lahir di Nganjuk, 11 Desember 1944, merupakan santri tertua Jam’iyah Tilawatil Quran (Jatiqo)/JTQ Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, beliau juga sekaligus santri teraktif di kelompoknya, yakni di Jassuna (Jamaah Syi’ar Subuh Ikhwana Surabaya) yang tempat belajarnya di Masjid Al Muhajirin, Kompleks Pemkot Surabaya, setiap Ahad pagi jam 10.00.
Hal ini dapat dilihat dari capaian setoran yang merupakan tertinggi dibandingkan dengan santriwan/santriwati lainnya. Selain itu, faktor lokasi rumah dengan masjid Al Muhajirin, juga merupakan indikasi penyebab keaktifan Siti Fathonah. Antara rumahnya yang beralamat di Legundi No. 15 G dan masjid Al Muhajirin hanya berjarak ratusan meter.
Walaupun ia merupakan santri tertua, namun bukan berarti belajar Alqurannya lebih lama. Wanita lulusan SGB (Sekolah Guru B) tahun 1961 ini mengaku mulai serius belajar Alqruan baru tahun 1986. Waktu itu mengikuti pelajaran Tilawah yang diselenggarakan oleh Remaja Masjid Al Muhajirin.
Pengasuhnya waktu itu adalah KH Salim Abud Abdad, yang merupakan imam rowatib masjid tersebut pada masa itu. Namun sayang, Bu Fathonah, demikian ia biasa dipanggil, hanya bisa mengikuti pelajaran tersebut selama satu tahun, karena terserang penyakit muntah darah. Walaupun belum mengenal tajwid, namun dari pelajaran itulah ia mulai tahu bacaan Alquran yang baik.
Melihat riwayat pendidikannya, Bu Fathonah, sebenarnya banyak mengenyam pendidikan yang cukup tinggi pada masanya. Setelah lulus SGB, ia ternyata masih mengikuti beberapa kursus, seperti kursus mengetik dan tata usaha yang dijalaninya pada tahun 1961 di Nganjuk, dan kursus Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) yang dilaluinya sejak tahun 1976 hingga 1978 di Surabaya.
Meski demikian, Bu Fathonah tidak sempat bekarja sebgai pegwai negeri sesuai dengan pendidikannya. Padahal saat itu kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sangat luas. Ketika akan melamar sebagai pengajar di berbagai tempat, selalu saja ditakut-takuti oleh saudara-saudaranya. “Jangan bekerja di sana, nanti begini dan begitu,” kata Bu Fathonah, yang merupakan anak keenam dari sepuluh bersaudara itu, dan sekarang tinggal dirinya yang masih diberi umur panjang.
Lantas mengapa Bu Fathonah baru belajar Alquran pada masa tua? Hal ini, karena pada masa mudanya, sang ibu (ibunya Bu Fathonah –red.) yang sudah menjanda lebih banyak mengurusi masalah ekonomi keluarga, sehingga tidak sempat memikirkan pelajaran mengaji bagi anak-anaknya, termasuk Bu Fathonah.
Baru pada tahun 1976, Bu Fathonah mulai ikut membantu mengajar mengaji santri-santri ibunya. Lalu setelah berhenti beberapa lama mengikuti pelajaran Tilawah yang diselenggarakan oleh Remaja Masjid Al Muhajirin, ia kembali aktif mengikuti kegiatan pengajian ibu-ibu muslimat di masjid tersebut sampai sekarang.
Pada tahun 2006, ia mulai mengikuti kegiatan Ahad pagi Jassuna untuk memperdalam ilmu membaca Alquran. “Alhamdulillah, semua ustadz sudah saya ikuti,” kata dia. Dan ketika Jatiqo-JTQ Jatim masuk ke lingkungan Jassuna pada tahun 2012, ia pun mengikuti program Murottal Tujuh Lagu, setelah lolos seleksi.
Bu Fathonah mengakui, awalnya sangat pesimis bisa mengikuti program Murattal Tujuh Lagu tersebut. Alasannya, di samping belum memiliki suara yang bagus, nafasnya juga belum begitu panjang. “Lagi pula, satu lagu saja masih bingung, kok tujuh lagu. Selain itu, harus menghafal lagi,” keluh Bu Fathonah saat itu.
Namun, setelah setengah dipaksa dan dicoba terus, akhirnya Bu Fathonah berhasil lulus mengikuti Program Murottal Tujuh Lagu. Ia tercatat sebagai lulusan ke-16 pada bulan April 2013. Saat itu pulalah, ia mulai mengaji mulai Surat Al Baqarh dan seterusnya dengan menggunakan tujuh lagu yang terkenal dalam seni baca Alquran, yakni, Bayyati, Hijaz, Shoba, Rast, Jiharkah, Sika, dan Nahawand.