Secara realistis kita harus siap menerima pertanyaan: “Perlukah Alquran, sementara yang kita saksikan hampir semua negara yang penduduknya berkitab suci Alquran (beragama Islam) adalah bangsa terbelakang.
Sebaliknya, negara-negara yang dalam menapaki kehidupan tidak berpedoman pada Alquran bahkan tidak tahu-menahu tentang Alquran justru tergolong bangsa maju. Lihat saja Amerika, Eropa (barat), Jepang, Korea Selatan, Taiwan Hongkong, Singapura dan Australia. Mereka jauh lebih sejahtera dibanding umumnya “negara-negara Islam”. Kalau begitu masih perlukah Alquran?”
Untuk kepentingan kesejahteraan duniawi semata memang tidak diperlukan Alquran. Tetapi guna keselamatan duniawi apalagi demi keselamatan ukhrawi, mutlak dibutuhkan Alquran. Siapa yang berani menjamin seseorang dapat selamat dunia-akhirat tanpa Alquran? Persoalannya sekarang mana yang kita prioritaskan, kesejahteraan atau keselamatan? Dengan Alquran keselamatan pasti didapat bahkan boleh jadi juga kesejahteraan, tetapi tanpa al-Qur’an keselamatan pasti tidak didapat, walaupun mungkin kesejahteraan diperolehnya.
Pertanyaan sejenis pernah muncul beberapa dekade lalu “Mengapa umat Islam mundur, sementara non muslim maju ?” Menjawab pertanyaan ini Amir Syakib Arsalan secara panjang lebar menjelaskan yang pada intinya umat Islam saat ini terbelakang justru karena mereka meninggalkan nilai-nilai Qur’aniy dan berpikiran jumud (beku/stagnan) dalam memahaminya. Hal ini terbukti bahwa Islam pernah mengalami masa keemasan, di saat Barat masih “gelap dan terbelakang”, justru tatkala umat Islam dapat memahami dan mau berpegang teguh pada Alquran.
Di mana letak kemu’jizatan al-Qur’an yang katanya tak tertandingi, sehingga dahulu para kafir quraisy yang mendustakannya justeru mencuri dengar guna menikmatinya, bahkan mereka tak sanggup menggambarkan keindahan bahasanya sehingga menganggapnya sebagai sihir Muhammad, sementara kini hanpir tiada lagi orang yang terharu tatkala mendengar al-Qur’an dibaca, justru banyak yang acuh bahkan bergurau.
Sementara dari segi isinya selalu terlambat difahami oleh umat Islam masa kini manakala merespon (mereaksi) temuan-temuan baru yang berkait dengan iptek. Uniknya, justeru para “penemunya” sebagian besar non-muslim, yang kemudian sebagian masuk Islam karenanya.**
Oleh: Ahmad Zahro